32870406

  • Judul: An Ember in the Ashes (#1)
  • Penulis: Sabaa Tahir
  • Penerjemah: Yudith Listiandri
  • Penerbit: Penerbit Spring
  • Jumlah Halaman: 520 hal.
  • Rating: ★★★★★

Laia seorang budak. Elias seorang prajurit. Keduanya bukan orang merdeka.

Saat kakak laki-laki Laia ditahan dengan tuduhan pemberontakan, Laia harus mengambil keputusan. Dia rela menjadi mata-mata Komandan Blackcliff, kepala sekolah militer terbaik di Imperium, demi mendapatkan bantuan untuk membebaskan kakaknya. Di sana, dia bertemu dengan seorang prajurit elit bernama Elias.

Elias membenci militer dan ibunya, Sang Komandan yang brutal. Pemuda ini berencana untuk melarikan diri dari Blackcliff, menanggung risiko dicambuk sampai mati jika ketahuan. Dia hanya ingin bebas.

Elias dan Laia. Keduanya akan segera menyadari bahwa nasib mereka akan saling silang, dan keputusan-keputusan mereka akan menentukan nasib Imperium, dan bangsa mereka.

Laia kehilangan semua orang yang disayanginya, ketika Darin, satu-satunya anggota keluarga Laia yang masih hidup ditangkap oleh prajurit Mask. Dengan segala cara Laia pun berusaha untuk membebaskan kakaknya. Termasuk menyetujui permintaan kelompok pemberontak untuk menjadi mata-mata. Di Blackcliff, Laia menjalankan misi untuk memata-matai Komandan, wanita berhati dingin yang tidak segan-segan menyiksa bawahannya. Tak hanya mengemban misi yang nyaris mustahil, Laia juga harus bertahan hidup dari siksaan fisik yang menderanya.

Aku tidak percaya aku mengambil waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan novel ini, padahal aku sudah diberitahu bahwa ceritanya seru (agak bodoh, memang). Yah, harus kuakui bab-bab awal novel ini terkesan lambat dan membosankan. Aku tidak bisa merasakan jiwa karakternya dan sulit  untuk bersimpati pada perasaan tokoh-tokohnya. Laia yang kehilangan keluarganya dan Elias yang begitu menginginkan kebebasan terasa biasa saja menurutku.

Namun  perasaan itu lenyap setelah kalimat dari Keenan di halaman 114:


“Kau takkan pernah melupakan mereka, bahkan setelah bertahun-tahun. Tapi suatu hari nanti, kau bisa bertahan semenit penuh  tanpa merasa sedih. Kemudian, satu jam. Satu hari. Hanya itu yang bisa benar-benar kau harapkan, sungguh. Hatimu akan pulih, aku janji.” —Keenan (hal. 114)


capture-20170329-074221

Pandanganku terhadap novel ini berubah total setelah Laia memulai misi mata-matanya. Oleh karena itu, buat kalian yang juga merasakan perasaan yang sama denganku saat membaca bab-abab awal novel ini, bertahanlah dan terus membaca. Plotnya akan semakin membaik, konfliknya akan membuatmu sulit untuk berhenti membaca, dan karakternya akan membuatmu bersimpati pada penderitaan mereka.

Satu hal yang harus dicatat adalah, Sabaa Tahir tidak membuat kedua tokohnya jatuh cinta dalam beberapa kali interaksi, atau dalam dua atau tiga bab. Dia menuliskan perkembangan hubungan mereka secara bertahap dan terkesan anggun sehingga perasaan keduanya muncul secara natural. Pembaca akan dibuat gregetan menunggu akan seperti apa kisah mereka nantinya. Belum lagi tambahan karakter lain disekitar si tokoh utama yang membuat pembaca bertanya-tanya, akan berakhir bersama siapa orang-orang ini nantinya. Aku pribadi sangat menyukai cerita yang bisa membuatku gelisah (hehe…)

Hal lain yang membuatku salut adalah karakter Helene dan Keris Veturia, sang Komandan. Belum pernah aku merasa bingung untuk menentukan sikap apakah harus membenci atau menyukai sebuah karakter sebelum aku ‘bertemu’ Helene. Dia digambarkan sebagai gadis yang kaku dan setia pada sumpah prajuritnya. Tetapi selain itu, dia juga tipe orang yang akan mengorbankan apapun demi melindungi sahabatnya. Dia bukan hanya prajurit terampil yang disegani, tetapi juga seorang gadis yang jatuh cinta. Dua hal yang bertolak belakang itu membuat karakter Helene menjadi sangat kompleks dan akan sulit untuk memutuskan untuk membenci atau menyukainya.

Lalu Keris Veturia si Komandan. Bagiku dia adalah penjahat yang benar-benar membuatku takut. Berbeda dengan tokoh antagonis di novel lain yang terkesan jahat karena keputusan-keputusannya, Keris Veturia jahat karena tindakannya. Dia sadis dan berhati dingin.

Jika kamu adalah penggemar genre action dengan adegan pertarungan yang berdarah-darah, maka Ember in the Ashes adalah salah satu novel yang sangat layak untuk dikoleksi. Satu adegan dalam novel ini membuat hatiku benar-benar hancur. Dalam hal itu, aku setuju dengan temanku jika adegan itulah yang paling memorable dalam novel ini. Aku berharap kalian juga bisa merasakan yang sama. Hint: adegan itu ada di salah satu ujian.

Mudah-mudahan Penerbit Spring segera menerjemahkan buku kedua (A Torch Against the Night) karena aku benar-benar sudah tidak sabar untuk tahu kelanjutan kisah Laia dan Elias.


 

Terima kasih kepada Penerbit Spring yang telah memberiku kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan kepada Kak Sabaa Tahir. Berhubung karena Kak Sabaa memiliki jadwal yang padat, jadi setiap host blogtour hanya memberikan satu pertanyaan saja untuk dijawab. Didorong oleh rasa penasaran dengan pembagian kelas masyarakat dalam An Ember in the Ashes, aku pun menanyakan asal muasal inspirasinya tersebut.

Question

How do you come up with the society classes like The Scholars, The Martials, and The Tribes? Which tribe do you want to be the most?

Answer

The book was inspired by ancient Rome, which was a very stratified society. There were the Plebians, the Patricians, the Senatatores, the Equites—all had their place in ancient Rome. The world of Ember is a bit more simplified! As far as Tribes, there is a group in the World of Ember referred to as the Tribesmen, who are based off of a combination of South Asian and North African nomad societies. In that case, I’d probably be Tribe Nur. I like their leader.

Buku ini terinspirasi dari Romawi kuno, yang memiliki strata sosial. Di sana ada Plebian, Patrician, Senator, dan Equite, semuanya memiliki tempat masing-masing dalam Romawi kuno. Dunia Ember menyederhanakan semua itu. Tentang Kaum Tribe, dalam dunia Ember, ada grup yang disebut sebagai orang-orang Tribe, mereka adalah kombinasi dari Asia Selatan dan Afrika Utara, kelompok orang nomaden. Dalam artian tersebut, mungkin aku akan menjadi bagian dari Suku Nur. Aku suka pemimpin mereka.

Yapp! Itu jawaban dari Kak Sabaa. Jika kalian belum puas dan ingin tahu lebih banyak mengenai An Ember in the Ashes, besok akan ada sesi yang sama di http://www.theboochconsultant.blogspot.com

Untuk mengikuti Giveaway An Ember in the Ashes, silakan klik banner di bawah:

Poster Blogtour Ember (2)